Senin, 14 April 2008

Kajian Peta Mental dalam Perancangan Kawasan Urban

Abstrak
Hubungan antara lingkungan fisik dan pemakai merupakan suatu hubungan timbal balik yang saling mengisi. Disatu pihak lingkungan fisik dapat membentuk karakter pemakainya seperti apa yang diinginkan perancang, namun dipihak lain terbentuknya karakter suatu lingkungan fisik juga dapat ditimbulkan akibat perilaku pemakainya. Sehingga dikatakan bahwa hal yang terpenting adalah bagaimana orang menanggapi suatu produk bangunan maupun lingkungan fisik, karena walau bagaimanapun kesan atau karakter suatu bangunan sama pentingnya dengan bangunan itu sendiri .
Pada pemahaman akan ruang, proses ini dilalui dengan dua cara yaitu melaui pemahaman ruang secara fisik dan pemahaman secara konseptual, dalam arti bahwa orang dapat memberi gambaran akan suatu tempat melalui pengamatan secara langsung ataupun melalui gambaran akan tempat tersebut dari pihak lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa kekuatan suatu tempat adalah kesan yang dimunculkan kepada pengamat baik secara langsung maupun tidak.
Kajian yang akan dipaparkan disini berupa olahan data secara teoritis dengan mengkaji teori-teori Pemetaan Kognitif melalui metoda komparatif dan bagaimana proses pemetaan itu terjadi dan dari hasil kajian emipiris tersebut di dapatkan beberapa rekomendasi untuk digunakan dalam perancangan.
Dengan kajian ini ada beberapa temuan yang dapat digunakan dalam proses perancangan kota yaitu (1) Pola dan perilaku terhadap ruang urban akan berbeda baik secara individu, kelompok masyarakat maupun lokasi, (2) Sebagaimana konsep dari teknologi adalah mempermudah pekerjaan manusia, maka konsep ruang adalah membuat kenyamanan bagi masyarakat penggunanya, (3) Ruang akan terbentuk dari perilaku manusia, dan perilaku manusia juga akan terbentuk dari pola ruang yang terbentuk.

Kata kunci: Lingkungan Fisik, Peta Mental, Perancangan Kota.

1. Pendahuluan
Tulisan ini merupakan suatu kajian tentang teori perancangan kota dan pene- rapannya melalui alternatif konsep tampilan perkotaan, karena seperti dikatakan Churchill bahwa “kita membentuk bangunan kita dan kemudian bangunan kitalah yang membentuk kita (we give shape to our buildings and they, in turn shape us)” [1]. Implikasinya, nilai-nilai manusia akan terlihat pada lingkungan fisiknya sehingga sebelum kita merancang sebuah ruang untuk berbagai kegiatan manusia, kita harus memahami dengan cermat tentang perilaku mereka. Untuk mengetahui aktivitas, kondisi, dan karakteristik orang yang akan menggunakan ruang tersebut. Ruang harus menjadi perhatian dan mungkin menjadi aspek yang paling berpengaruh pada tahap analisa dalam merancang penyelesaian sebuah masalah desain.
Alternatif konsep yang ditawarkan adalah pemetaan mental (cognitive mapping) yang berdasarkan pada metode-metode persepsi dimana kita menyusun dan manyimpan pengetahuan spasial kita . Kevin Lynch [2] menekankan ide ‘keterbacaan’ (imagebility) dengan studi elemen-elemen persepsi dari sebuah kota dengan menggunakan peta mental dari sebuah kota melalui pemahaman terhadap sebuah kawasan dengan elemen-elemen yang mudah dikenali berupa jejalur (path), batasan (edges), lingkungan (district), titik temu antar jalan (nodes), dan tanda-tanda yang mencolok (landmark). Elemen-elemen ini secara deskriptif menggambarkan hubungan antar ruang dan secara umum mampu menjadi pengarah pada suatu kota yang sekaligus menggambarkan bentuk, organisasi dan fungsi kota.

2. Peta Mental ( Cognitive map )
Pada awal tahun 1970-an, ‘peta mental’ dipopulerkan oleh Gauld and White [3], dimana “peta mental (cognitive map) dapat berupa gambaran jalur sirkulasi seseorang yang diungkapkan pada orang lain, atau gambaran peta yang dipresentasikan berdasarkan letak sebuah tempat” [4]. Roger Downs and David Stea [5] mendefinisikan cognitive mapping sebagai suatu konsep yang meliputi proses pemahaman yang membuat orang dapat menggambarkan, mengkodekan, menyimpan dan mengolah informasi tentang lingkungan spasialnya. Informasi tersebut mengacu pada atribut dan lokasi yang relatif bagi pengamat terhadap lingkungannya, dan merupakan komponen yang sangat mempengaruhi proses adaptasi dalam membentuk ruang spasial.
Peta mental terdiri dari informasi spasial tentang lingkungan, ciri-ciri sebuah tempat dan jalur sirkulasi, lokasi, jarak dan pencapaian. Hubungan antara ‘pengamat dan objek’ serta ‘objek dan objek’ ada di dalam peta mental yang merupakan produk akhir dari proses pemetaan (cognitive mapping process) [6]. Walaupun setiap orang dapat melakukan pemetaan, namun masing-masing individu akan mempresentasikannya dengan cara yang berbeda dan tidak ada istilah ‘sempurna’ dalam menggambarkan peta mental. Penyimpangan dan ketidaklengkapan dalam menggambarkan peta mental disebabkan beragam faktor yang mempengaruhi masing-masing individu seperti pengalaman, proses sosial, dan faktor-faktor demografi.

2.1. Komponen Peta Mental
Dalam proses pemetaan, secara umum gambaran yang ditampilkan merupakan bentuk-bentuk geometris yang berupa titik, garis, area, dan permukaan [7]. Elemen geometris ini menggambarkan berbagai aspek fisik lingkungan. “Landmarks” merupakan titik utama yang biasanya menjadi gambaran dan mampu memberi informasi berupa identitas, lokasi, dominasi (keutamaan) dari keseluruhan landmark.
Garis juga memegang peranan penting dalam pemetaan, selain sebagai batasan wilayah juga sebagai rute atau jalur pencapaian dari landmark, jalur lurus atau berliku, dan merupakan penghubung antar lokasi. Area digunakan untuk menggambarkan ruang spasial dua dimensi, yang meliputi wilayah, permukiman, komunitas, kawasan perkotaan, dan kawasan administratif. Permukaan menggambarkan informasi gradasi atau ketinggian lahan (kontur), atau dapat juga menggambarkan kualitas permukaan, pencapaian dan keselamatan.

2.2. Teori Persepsi
Konsep peta mental mengacu pada persepsi personal tiap individu terhadap lingkungan di sekitarnya. Persepsi adalah proses dimana seseorang memperoleh informasi dari lingkungan sekitar yang memerlukan pertemuan nyata dengan suatu objek dan juga membutuhkan proses kognisi dan afeksi. Persepsi membantu individu untuk menggambarkan dan menjelaskan apa yang dilakukan oleh individu [1]. Ada empat teori persepsi yang dijadikan pendekatan dalam menggambarkan peta mental yaitu:

1. Teori Gestalt
Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt berpendapat bahwa dasar pengintegrasian adalah organisasi spontan yang berasal dari masukan sensori kepada otak, seseorang cenderung mempersepsikan apa yang terlihat dari lingkungannya sebagai kesatuan yang utuh (Kohler,1929; Koffka, 1935; Wertheimer, 1938; Ellis, 1939) [1] . Teori Gestalt banyak dipakai dalam proses desain dan cabang seni rupa lainnya, karena banyak menjelaskan bagaimana persepsi visual bisa terbentuk. Saat pertama Wertheimer memformulasikan Gestalts, ia menyimpulkan bahwa dalam membentuk kesatuan diperlukan tiga elemen utama yaitu: kesamaan bentuk (similiarity), kedekatan posisi (proximity), dan kesinambungan pola (continuity) [8].
Setelah teori gestalts mulai populer dalam desain, selanjutnya ada penambahan pada elemen-elemen tersebut seperti penutupan bentuk (closure), melengkapi bentuk (closed form), yang biasanya digunakan untuk perancangan lingkungan. Prinsip-prinsip desain seperti keseimbangan bentuk (symetry), kesatuan garis (alignment), dan simplicity (dapat dibaca sebagian maupun keseluruhan) yang juga dimasukkan dalam elemen gestalts. Kesamaan arah gerak (common fate), connectednes (hubungan dua elemen atau pola yang mirip) juga menjadi atribut desain. Dan prinsip gestalts yang terakhir memasukkan pengalaman (experience) yang merupakan elemen non visual yang dapat mendukung makna simbolik.
Teori Gestalt menyimpulkan bahwa persepsi-persepsi diorganisasikan ke dalam bentuk-bentuk dan latarnya. Pola garis-garis, bidang-bidang, dan obyek-obyek terlihat memiliki ‘kualitas dinamis’ tertentu. Ini menjelaskan isomorphism antara pengalaman persepsi dan proses-proses neurologis manusia yang merupakan dasar teori Gestalt [9].

2. Teori Steven’s Power
Teori Stven’s Power menunjukkan banyak hal dari penilaian psikologis berhubungan satu sama lain dengan fenomena fisik yang memilki fungsi rasional. Beberapa persepsi membutuhkan asumsi yang dibuat mengenai apa yang terjadi pada bagian-agian indera. Dengan kata lain, ada reaksi-reaksi khusus terhadap sensasi-sensasi, namun interpretasi juga membutuhkan lebih dari sekedar penjelasan fisiologis yang sederhana. Stevens (1975) [1] menunjukkan banyak kasus mengenai penilaian-penilaian psikologis yang berhubungan satu sama lain dengan fenomena fisik berdasarkan rasio.
Teori Stevens’ Power
P = Sα

P = Penilaian Psikologis
S = Besarnya stimulus Fisik
(dimana α berubah menurut variabel fisik)

Kesimpulan dari teori Steven’ Power adalah bahwa penilaian persepsi tidak dapat terisolasi (berdiri sendiri) dari penilaian psikologis dan hal ini menggambarkan hubungan relatif antar stimulus yang menjadi faktor penting dalam melakukan penilaian.

3. Teori Transaksional
Teori ini menjelaskan tentang peranan pengalaman persepsi dan menekankan hubungan dinamis antara manusia dan lingkungan. Persepsi merupakan hubungan timbal balik dimana lingkungan dan pengamat saling bergantung satu dengan lainnya. Informasi yang didapat seseorang dari lingkungannya menurut Ittelson [10] memiliki hakekat probabilistik yang ditentukan melalui tindakan. Orang menggambarkan persepsi mereka baik secara terstruktur maupun hanya berdasarkan pengalaman saja. Dalam penjelasan mengenai pengalaman terdapat unsor moods, perasaan, dan laporan diri (self-reports). Sedangkan penjelasan secara terstruktur melibatkan laporan mengenai hasil pegamatan yang aktual tentang struktur fisikal dan sosial.
Appleyard [11] mengkategorikan informasi persepsional ke dalam tiga kategori, yaitu:
a. Operational, informasi yang dibutukan seseorang untuk mencapai tujuannya.
b. Responsive, berupa karakteristik-karakteristik yang berbeda dan sangat mengganggu hingga menimbulkan tindakan tertentu.
c. Inferential, Informasi yang membentuk sistem coding untuk mengenali elemen-elemen yang ada di dunia.
Kontribusi penting teori Transaksional terhadap teori desain adalah, pengalaman membentuk orang untuk memberikan perhatian kepada lingkungan dan kepada apa yang penting bagi dirinya.

4. Teori Ekologi
Pendekatan ekologi sangat radikal dalam membahas masalah persepsi, pendekatan ini sangat kontradiktif terhadap teori Gestalt mengenai isomorphism dan interpretasi transaksional tentang peran pengalaman persepsi. Ketimbang menganggap panca indera sebagai saluran dari sensasi-sensasi, teori ini memandang panca indera hanya sebagai sistem persepsi (Gibson ,1966) [1].
Pada teori ini diakui bahwa persepsi yang multimodal itu bersifat universal, hipotesa bahwa struktur cahaya, gelombang suara, dan sumber persepsi lainnya dapat menyampaikan informasi tentang dunia secara langsung tanpa harus merekonstruksi “data sensoris yang tak bermakna”.
Orang menyelidiki lingkungan untuk mempersepsikan detail-detail dengan menggerakkan mata, kepala dan tubuhnya. Dengan pengalamannya, orang mampu mengidentifikasi detail-detail terhalus dan hubungan-hubungan terluas [1]. Dengan pengalamannya, orang belajar memberi perhatian terhadap detail yang sebelumnya tidak terlihat olehnya.

3. Penerapan Peta Mental pada Urban Design
Perancangan perkotaan berhubungan dengan perencanaan kota, tetapi memfokuskan pada perancangan fisik suatu tempat dan berhadapan dengan skala yang lebih detail dan dapat termasuk seni dari perancangan perkotaan dengan unsur arsitektur dan arsitektur lansekap. Dapat juga disebutkan bahwa perancangan kota merupakan ruang yang terbentuk antar elemen perkotaan dalam mengakomodasi kegiatan perkotaan itu sendiri sesuai dengan fungsinya.
Perancangan kota merupakan bidang yang menyentuh langsung dengan konsep kenyamanan ber-kota, sehingga konsep-konsep persepsi yang melahirkan peta mental dari masyarakat setempat maupun pendatang dapat dijadikan acuan bagi penyelesaian masalah perancangan kota. Karena permasalahan perancangan kota yang kompleks, maka substansi penelitian tentang pemanfaatan peta mental terhadap upaya peningkatan kualitas perancangan kota juga dapat ditinjau dari berbagai aspek seperti penelitian tentang peta mental bagi anak-anak yang dilakukan oleh Ahmad Y. Al-Zaobi [12] yang menghasilkan suatu kajian tentang kualitas lingkungan dari sudut pandang anak-anak. Pada tempat yang berbeda Bruce S. Appleyard [13] mengguna-kan pemetaan mental bagi anak-anak untuk mengetahui jalur-jalur sirkulasi yang menjadi favorit anak-anak guna menjadi acuan dalam merancang rute aman bagi anak-anak.

Peta mental juga digunakan dalam mengidentifikasi kondisi sosial masyarakat seperti penelitian Therry Ramadier dan Gabriel Moser [14] yang menghasilkan perlunya memasukkan elemen-elemen sosial berupa perilaku perkotaan (urban behavior) dalam perancangan kota untuk mengurangi kesenjangan sosial. Selain itu peta mental juga dapat digunakan sebagai referensi bagi peningkatan kualitas pariwisata perkotaan dengan melakukan pemetaan terhadap perilaku wisatawan, pencapaian menuju objek wisata, kualitas dan daya tarik objek wisata seperti penelitian yang dilakukan oleh Andrew Mondschein [15].
Gambar 3. Pedestrian dan tempat bermain anak sebagai produk urban desain yang sesuai dengan peruntukan.

Selanjutnya, penerapan konsep peta mental tidak hanya dilakukan secara manual, namun lebih dari itu berbagai upaya terus dilakukan guna mendapatkan suatu kajian peta mental yang lebih akurat dan fleksibel baik secara teknis maupun substansi penelitian.

5. Kesimpulan
Dari berbagai pertimbangan dalam menggambarkan kondisi lingkungan fisik, peta mental dapat digunakan sebagai alat yang terukur dalam mempresentasikan ruang perkotaan. Pertama, penelitian terhadap masyarakat penghuni kawasan dapat bermanfaat sebagai kajian kebiasaan masyarakat / perilaku perkotaan (urban behaviour) guna mendiagnosa permasalahan yang ada (hubungan kemasyarakatan, pemanfaatan lahan dan sebagainya), pada tahap ini lebih di fokuskan pada tingkat kenyamanan dan pemanfaatan bagi masyarakat terhadap lingkungan binaannya secara sosial [16]. Kedua, menggunakan konsep pemetaan yang sesuai untuk mendapatkan data fisik dan visual baik berupa kebutuhan ruang gerak, tekstur, dan estetika bentuk yang ditampilkan pada elemen perkotaan. Ketiga, ruang perkotaan merupakan ruang milik publik yang penggunanya adalah masyarakat dengan beragam keinginan dan kebutuhan, sehingga penggalangan informasi dari masyarakat dalam bentuk peta mental akan sangat bermanfaat dalam penyelesaian masalah perancangan secara objektif.


Daftar Pustaka
[1]
Halim, Dedy (2005) Psikologi Arsitektur, Pengantar Kajian Lintas Disiplin. Grasindo, Jakarta.
[2]
Lynch, Kevin. (1969) The Image of the city. MIT Press. Cambridge.
[3]
Gauld, P. and White, R. (1986). Mental Maps. 2nd edition, Routledge, London.
[4]
Tuan, Y-F, (1997). Space and Place: The Perspective of Experience. University of Minnesota Press, Minneapolis
[5]
Downs, R.M. and Stea, D, (1973) Image and Environment: Cognitive Mapping and Spatial Behavior. Aldine Publishing Co., Chicago.
[6]
Dawn, R, M. & Stea, D. (1977) Maps in Mind: Reflexions in Cognitive Mapping. Harper & Row Publisher, New York:.
[7]
Golledge, R.G. (1999) Human Wayfinding and Cognitive Maps, in Wayfinding Behavior: Cognitive Mapping and Other Spatial Process, John Hopkins University Press, Baltimore.
[8]
Behrens, R.R. (1998) Art, Design and Gestalt Theory, (http://mitpress2.mit.edu/e-journals/Leonardo/isast/articles/behrens.html), (updated 17 November 2004) (retrieved: 21 December 2007)
[9]
Arnheim, R. (1977). The Dynamics of Architectural Form, University of California Press, Berkeley & Los Angeles.
[10]
Ittelson, W. H. (1960) Some Factors Influencing the Design and Function of Psychiatric Facilities, (Progress Report), Brooklyn, New York.
[11]
Appleyard, D. (1973) Environment and Behavior, 2, No. 3: 131-156
[12]
Al-Zoabi, Ahmad Y. (2002). Children’s “mental map” and Neghborhood Design of Abu-Nuseir, Jordan. (http://www.araburban.org/chicity/paper/English/Alzoabi.pdf.) (update 18 Mei 2002) (retrieved: 16 December 2007)
[13]
Appleyard, B. S. (2005) Livable Street for School Children, NCBW Forum Articles
[14]
Ramadier, T. & Moser, G. (1998) Social Legibility, The Kognitive Map and Urban Behavior. Jurnal of Environmental Psychology. 18. 307-319
[15]
Mondschein, A. , Blumenberg, E., & Taylor, B. D., (2005) Cognitive Mapping, Travel Behavior, and Access to Opportunity. 85th Annual Meeting of the Tranportation Research Board.
[16]
Kaplan, S. (1983). A Model of person/environment compatibility. Environment and Behavior Vol. 5, p.311-332.

2 komentar:

its_my.land mengatakan...

Ass..Wr..wb

ini Qnoy n Cgt..segala hormat bu tolong diajari cara buat Blog..sukses ya bu untuk penelitian-penelitian sekarang dan masa yang akan datang...buat fairuzz tambah disayang kakaknya yaaa

Pak Tee mengatakan...

Abstraksi suaminya kok gak ada